Rabu, 23 Desember 2015

Kisah Kemarin

Tuhan memang selalu gemar memberi kejutan. Memberi lelucon yang begitu menyenangkan, membuat setiap manusia terbahak-bahak jika (mungkin) mengetahui kisah yang akan terjadi. 
Tanpa aku sangka, sesuatu yang pernah ku anggap mustahil, sesuatu yang dulu sempat aku abaikan, kini telah datang. 
Merayu ku secara perlahan, mengajakku untuk tersenyum, mengajarkanku untuk merindu, mengingatkanku untuk membayangkan hal-hal yang semu. Entah, apa ini benar atau hanya kesalah pahaman ku saja. 
Sekarang, yang ku rasakan hanya hati yang mulai menggelembung. Seolah-olah penuh dengan kupu-kupu liar, rasanya begitu sesak namun aku bahagia merasakannya. 
Sempat aku memberanikan diri untuk bertanya pada semesta, apakah ini cinta? 
Apa benar, aku tengah mencintai seseorang yang baru?
Apa benar aku jatuh cinta pada yang lain, selain Tuan di masa lalu?

Berkali-kali ku pejamkan mata, ku redam semua degupan yang ada di jantungku, ku sentuh juga hatiku untuk memastikan bahwa keramaian didalamnya telah tenang dan tak lagi gaduh. Ku coba berlari dari rasa yang masih dini untuk ku raba. Ku coba menampik dari apa yang menimpa perasaanku ini. 
Sial!!
Semakin ku menghindar dari semuanya, semakin semesta menunjukkan konspirasinya. 
Dirimu. Seseorang yang baru di dunia ku, semakin jelas terlihat. Sketsa wajahmu semakin jelas terbayang dalam lamunan. Senyuman sederhanamu semakin terpatri dalam ingatan. Oh, Tuhan ... Benarkah apa yang ku rasakan ini?

Aku berhasil jatuh cinta lagi, mulai menyukai seseorang yang lain. Mungkinkah ini pertanda, bahwa cintaku pada seseorang yang lalu telah terkikis dan hilang?
Jika memang iya. Berarti, kau adalah pelabuhanku selanjutnya. Aku harap engkaulah yang terakhir. Aku rela menjatuhkan semua lara, keluh kesah, resah hingga bahagiaku padamu. Aku siap, jika harus mengenalmu lebih jauh lagi. Aku bersedia, jika harus mengiringi dan menemani setiap langkah yang kau pijakkan di semesta ini. Aku akan menjadi seseorang yang baru untukmu, yang meleburkan semua kenangan masa lalu yang ada untukmu. Yang dengan ikhlas membagi semua cerita hidupku padamu. Yang dengan setia, datang, tinggal bahkan menetap dihatimu. Aku sanggup, Tuanku (yang baru).

Semenjak pertemuan itu, hasrat keingintahuan ku padamu semakin memuncak. Ku coba menerka, seperti apa karakter seorang lelaki yang berani masuk kedalam labirin kehidupanku. Ku dengarkan dengan seksama, saat kau tengah asyik menceritakan semua hal tentang mu. Terbesit dalam hati, sepertinya kau menarik, seperti mempunyai sesuatu yang menyenangkan untukku. Iya, pertemuan pertama denganmu sungguh mengesankan. Luar biasa!
Hingga berikutnya, ku putar waktu dan otak untuk bisa bertemu lagi denganmu. Untuk dapat melihat rupamu yang tampan dan gagah. Tatapanmu yang tajam, rahangmu yang tegas berhasil membuatku menggila.


Waktu yang di tunggu pun tiba.
"Hai?!" 
Sapaanmu mengejutkan ku malam itu, disebuah kedai kopi yang tak jauh dari tengah kota, kita bertemu untuk kedua kalinya.
Tubuhmu tegap, menggunakan celana blue jeans, T-shirt dan sweater berwarna hitam. Terlihat begitu pas saat kau memakainya.
"Eh, hai juga Dewa!"
Namamu Dewa Adinata, yang mempunyai arti dewa yang paling unggul. Dan mulai saat ini, menjadi lelaki unggulan dan paling unggul dalam hidupku.
Rasanya masih sama, sama seperti saat pertama bertemu. Jantungku masih berdegup, berdegup semakin kencang disetiap detiknya.
"Maaf, membuatmu lama menunggu. Sudah pesan minuman?"
"Sudah, aku juga sudah memesan secangkir espresso untukmu." Jawabku.
"Hahaha ... Kau sudah mulai paham apa yang aku sukai, Nona?"
Apa? Kau memanggilku, Nona? Cukup Dewa, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Tak tahukah kau, aku lemah dan bisa mabuk kepayang karena itu. Atau, jangan-jangan kau sengaja memanggilku Nona? Agar aku juga membalas, memanggilmu dengan sebutan Tuan? Ucapku dalam hati, seperti ada sesuatu yang mengganjal saat ku mendengar kau memanggilku Nona.
"Hallo,  Alka ... apa yang kau pikirkan? kok, melamun?" Ucapnya menyadarkanku dari lamunan. Seketika ku singkirkan semua pertanyaan yang menyergap ku tadi dan kembali fokus pada lelaki yang berada di dekatku ini. 
Kupastikan gerak gerikmu tak hilang dari penglihatanku, tak seinci pun. Kini, kau sudah ada dihadapanku. Kita duduk berdua saling berhadapan, bertemankan dua cangkir kopi dan beberapa kudapan yang kita pesan malam itu. Menemani kita menghabiskan sepenggal malam melarutkan kebersamaan beserta senyuman.

Kau bercerita kembali, mengenai kejadian-kejadian yang kau alami. Perihal pekerjaanmu yang selalu menyita sebagian harimu. Perihal waktu kuliahmu yang terkadang tak sesuai dengan jadwal. Dan tentu saja perihal semua hal-hal yang ingin kau capai di kemudian hari. Aku pun tak tinggal diam, ku ungkapkan juga semua yang biasa ku lakukan, semua yang aku sukai pun tak ku sukai. Tapi tentu saja, tak ku ungkapkan perasaanku padamu. Aku terlalu takut, takut jika ini terlalu cepat untuk kita. Maaf, maksudku untukmu. 
Semuanya begitu mengesankan, mungkin itu karena aku tengah jatuh cinta padamu. Entah, apa orang lain memiliki penilaian yang sama terhadap perbincangan kita malam itu. 

Yang pasti, ku ucapkan terima kasih. Karena kau, aku tersadar. Tersadar, bahwa hatiku masih berfungsi dengan baik. Bisa mencintai seseorang lagi, selain Tuan dimasa lalu. 
Pertemuan demi pertemuan pun tak sengaja semesta hadirkan diantara kita. Menurutku, pertemuan yang tak disengaja itu lebih indah. Tapi tunggu dulu, kejutan pun tak berhenti disitu. Perbincangan kita melalui telepon, senda gurau kita melalui pesan singkat. Bahkan, kepedulian yang kita berikan satu sama lain melalui lini masa begitu menyenangkan dan membuatku nyaman. Denganmu semuanya terasa mudah, wajar bila aku berkata seperti itu. Karena sebelumnya, aku pernah berada di masa yang sulit. Dimana mencintai seseorang itu begitu penuh dengan duka hingga luka yang masih membekas. Berbeda denganmu semuanya begitu singkat dan mudah, aku tak perlu bersusah payah untuk menunjukkan rasa peduliku padamu. Menurutku, apa-apa yang ku inginkan denganmu dan padamu selalu bersambut. Aku rasa yang menginginkan kita bukan hanya aku, tetapi juga kau. 
Engkau pun menginginkan kita bersama, bukan?

Tak ku sangka, kita pun semakin dekat. Kita seperti tak berbatas dan tanpa jeda. Perihal ucapan-ucapan yang mampu menyemangati satu sama lain pun, sudah mulai berani kita ungkapkan. Sungguh, ini diluar dugaan. Sebelumnya, ku kira ini hanya rasa nyaman semata nan sementara. Ternyata perkiraan ku salah, hadirmu nyata dihidupku. Nyata menyadarkan ku bahwa mencintai itu tak selalu berbuah tangis. Terima kasih atas kejutan-kejutan kecil yang kau hadirkan selama ini. 

***

Penghujung tahun pun tiba, Desember benar-benar menjadi bulan terberat bagiku. Dimana air-air rahmat penguasa semesta lebih sering berjatuhan ke bumi. Mungkin engkau juga tahu, ingatan ku sangat mudah di ajak bermain oleh suasana yang dihadirkan pada saat hujan. Layaknya menyaksikan film, semua ingatanku jatuh dan tumpah bersama aroma tanah yang basah, memutar semua memori yang ada dan disaat itu pula diriku mulai gamang, teringat tentang kisah di masa lalu. Perihal mencintai, menyayangi dan mengagumi seseorang yang belum tentu mempunyai rasa yang sama terhadapku. Perihal menyimpan sesuatu yang layak kau akui tapi tak berujung pengakuan. Aku takut, semacam trauma bila harus mencintai seseorang (lagi). Resah yang ku rasakan, seolah mengintaiku dari kejauhan. 

Seperti ada bisikan iblis ditelinga yang selalu mengatakan,
"Hai, Alka Gauri .. Kita lihat peruntungan cintamu dengan seseorang yang baru ini. Apakah akan berakhir sama dengan Tuanmu yang sebelumnya? Atau berbeda dan mengesankan, persis seperti apa yang ada dalam lamunanmu selama ini!" 
Ya, kalimat itu yang selalu terniang ditelingaku saat menjelang tidur, seakan mengusik kebahagiaan yang (mungkin) datang bersama dengan kehadiranmu, Dewa ... 

Ku tutup telinga dari semua iblis dan orang-orang yang mencibirku. Maaf, maksudku bukan mencibir. Mungkin mereka hanya mengingatkan aku untuk mengerti, mengerti bahwa bersama seseorang yang masih memiliki alur yang baik dengan mantan kekasihnya itu tidaklah mudah. Tak apa, aku pun memiliki masa lalu yang sulit untuk ku buang begitu saja. Kita memiliki permasalahan yang sama, bukan? Mengapa tak kita coba untuk saling mengisi satu sama lain dan melupakan apa-apa yang sudah membuat hati sulit dan sakit? Tapi entah mengapa, mereka selalu menjabarkan bagaimana sikapmu, perlakuanmu pada kekasihmu yang dulu. Perihal engkau yang selalu menciptakan situasi untuk melepas ribuan rindu yang semakin hari kian berbuih, pada perempuan yang sempat kau miliki itu. Pernah temanmu berkata padaku, katanya engkau rela untuk menetap lebih lama di kota tempat perempuan itu tinggal. Hanya untuk mencari celah, kapan kau bisa duduk berdua dengannya, dengan kepala yang tertunduk serta kepalan tangan yang masih mencintainya dengan sungguh. Benarkah itu, Dewa?
Apa benar, engkau masih ingin mempertahankan semua yang pernah ada dengannya?
Jika iya, matilah aku (lagi). Entah apa rupanya hati ini, remuk atau bahkan bisa berubah menjadi kepingan.

Tapi tidak, aku tak boleh sembarangan mempercayai perkataan orang lain. Apalagi yang menceritakan itu hanya sebatas temanmu saja, bukan sahabat atau kerabatmu. Aku bebas kan, untuk tak menelan apa yang dia katakan bulat-bulat? Aku berhak mendengarkan wejangan temanmu untuk tak melanjutkan kedekatan kita, dan tentu saja aku pun berhak untuk tak menghiraukan itu semua, bukan?
Tenang Dewa ... Tenanglah Tuanku yang baru, aku akan tetap bertahan. Aku masih mau mengenalmu lebih jauh lagi dan tentu saja masih sangat ingin untuk lebih dekat denganmu. Kini, bersamamu itu prioritasku! 

***


Sore itu hatiku berdebar. Tidak, tidak ... pada saat itu suara hatiku menggelegar. Menerima pesan singkat darimu, mengajakku bertemu di kedai kopi tempat pertama kali kita bertemu. Kau mengajakku bertemu tepat pada malam minggu. Tak ku biarkan kau menunggu lama atas jawabanku. Ku iyakan, tawaranmu untuk bertemu. Pukul 20.00 kau akan menungguku disana. Aku menyimpulkan, ada gelagat yang tak biasa padamu. Mungkinkah, malam nanti kau akan memintaku untuk menjadi milikmu?

Pada malam itu, bintang meredupkan terangnya. Lampu-lampu kota lebih memberi andil besar atas sinar yang tercipta. Hawa dingin yang angin hantarkan sangat menusuk tulangku. Rencanamu untuk menungguku di kedai kopi berubah, menjadi aku yang sejak tadi tengah menunggu kehadiranmu.
Berkali ku lihat angka pada arloji yang ku pakai, memastikan sudah pukul berapa ini. Mengapa kau belum datang?
Tak jarang tatapanku terpaku pada setiap lelaki yang datang, barang kali saja kau menungguku di dalam kedai. Tapi tak mungkin, aku cukup paham sudut yang kau sukai disini. Setiap kau mengunjungi kedai kopi ini, kau pasti duduk disini. Di tempat ini, dimana kau bisa melihat suasana outdoor yang selalu penuh dengan kejutan. Di meja ini, kau menikmati siangmu yang hangat, senjamu yang berwarna merah jingga, hingga suasana malammu yang temaram. Engkau selalu betah berlama-lama duduk disini, bukan?
Tapi mengapa kini kau tak datang dan menghilang tiba-tiba?

Suasana hatiku yang awalnya merah merona, kini berubah menjadi pucat. Ku coba menghubungi mu, tapi tak jua ku dapati kabarmu. Ku tinggalkan sepenggal pesan singkat, tapi tak kunjung ada balasan. 
Sebenarnya apa yang terjadi? 
Permainan macam apa yang sedang kau lakoni, Dewa ... Tak tahukah aku cemas dan menunggumu dengan penuh harap?
Tapi hebatnya, hatiku masih berpihak padamu. Aku berpikir, mungkin kau terjebak lalu lintas jalan raya yang padat. Atau mungkin, kau ada jadwal kuliah tambahan sehingga membuatmu datang tak tepat waktu. Jika memang iya, mengapa tak kau beri kabar pada perempuan yang sedang menunggumu ini?

Sudah pukul 21.00, kopi dicangkir ku pun sudah tak hangat lagi. Suasana kedai pun semakin ramai dengan sepasang kekasih yang menyajikan tawa bahagia di atas meja. Ku lihat tak ada satupun guratan risau diantara mereka, yang nampak hanya ketakutan akan kehilangan di kemudian hari, pada masing-masing jiwa yang bangga karena telah berhasil mereka miliki. Sedang aku, hanya sebatas penonton yang sedang menyaksikan drama cinta paling klasik. 

"Alka?" Terdengar suara lelaki, memanggilku dari jauh. Aku menoleh ke sudut yang lain, yang ku harap itu kau. Ternyata bukan. Ku dapati Adit yang tiada lain adalah sahabatmu, menghampiriku sambil menggandeng seorang perempuan cantik yang bernama Gita.
"Hai, Dit .."
"Hai, sedang apa kamu disini? Sendirian?"
"mmm ... Iya. Maksudku, aku sedang menunggu Dewa. Seharusnya aku bersamanya disini."
"Dewa? Yang kamu maksud itu Dewa Adinata?" Ucap Adit, kepadaku. Sedangkan aku hanya bisa mengangguk, menjawab pertanyaannya.
"Hah, kamu sedang menunggu Dewa, sepupuku itu?" Sahut Gita.
"Apa, jadi Dewa itu saudara sepupu kamu, Git?" Tanyaku penasaran.
"Iya, dia sepupu aku. Tapi setahuku, dia tak memberitahu kalau ada janji bertemu denganmu."
Apa maksud dari perkataan Gita ini, semakin membuatku penasaran. Membuatku kalang kabut, sebenarnya kemana perginya lelaki yang selama ini memperlakukan ku bagai dewi. Mengapa ia tak menunjukkan batang hidungnya sedikitpun malam ini?
"Sory ya, Ka. Yang aku tahu, sekarang Dewa sedang berada di Bandung. Baru saja, sore ia pergi dari rumah." Ungkap Gita (lagi).

Bandung?
Mengapa kau pergi kesana, untuk apa kau pergi kesana? Bukankah, kau berjanji untuk bertemu denganku malam ini?
"Kaa, kok bengong sih?" Adit menyadarkanku dari lamunan. 
Entah, sulit ku percaya. Mengapa Dewa tega membiarkan aku menunggu selama berjam-jam disini. Tak tahukah, bahwa aku sudah bosan menunggu. Jika sebelumnya aku mampu menunggu seseorang dimasa lalu selama bertahun-tahun, kali ini rasanya aku tak sanggup untuk menunggu. Muak, menunggu itu benar-benar sangat melelahkan. Aku benci menunggu. 
Asal kau tahu, aku mengutuk sebuah penantian yang tak berujung temu. Camkan itu!

"Adit, Gita .. Kalau boleh tahu, untuk apa Dewa pergi kesana? Menemui seseorang kah?"
"Kalau Dewa tiba-tiba pergi kesana dan sebelumnya tengah membuat janji denganmu, paling-paling ia datang untuk menemui Laras. Kamu tahu dan kenal Laras kan, dit? Selidik Gita pada Adit.
"Ouh yaa, aku tahu Laras. Dewa selalu mementingkannya. Tapi, bukankah perempuan itu mantan kekasihnya. Untuk apa ia menemuinya lagi?"
"Entahlah, mungkin memang ia harus menemuinya." Aku tersenyum pada mereka berdua.

***

Laras? Mantan kekasihmu itu?
Ouh yaa, tentu saja aku ingat. Tempo hari, kau sempat berniat untuk mengajakku ke pameran lukisan di Bandung. Dan mengapa tak ku sadari sebelumnya, bukankah pameran lukisan itu diselenggarakan hari ini?
Kau pergi kesana untuk menemaninya, bukan? Bukankah kalian dua sejoli yang sama-sama menyukai seni lukis? Kau sangat menyukai lukisan dan Larasmu itu kan, Dewa?

"Bodoh, kau Alka!! Jatuhlah kau pada kesakitan yang paling dasar. Rajam semua luka-luka yang masih menganga itu. Bukankah kami tengah mengingatkanmu sebelumnya?
Lelaki baru yang kau anggap mampu menggantikan seseorang di masa lalu itu tak lebih baik dari sebelumnya. Sama saja, seri! Dengan mudah, ia menjungkir balikan kebahagiaanmu. Memporak-porandakan tugu cintamu yang baru saja kau bangun. Rasakan itu, Alka!!" Suara iblis-iblis itu mulai berdengung kembali di telingaku. Seakan puas tertawa melihat kekalahanku (lagi).

Seketika, tubuhku lemas. Hatiku mati rasa. Ku ratapi sesuatu yang patah (lagi). Ku lihat bayangan wajahku di secangkir kopi yang hitam pekat, persis seperti ruang hatiku yang gelap. Ingin rasanya aku berteriak, mencaci namamu di depan mereka. Tapi rasanya, tak perlu ku lakukan itu semua. Lah toh, ini juga kebodohanku. Kesalahanku yang paling fatal, dengan mudah membuka hati bagi seseorang yang baru seperti engkau. Engkau yang masih menari-nari dalam buaian mantan.
Cih, kau pikir kau saja yang lemah dalam menghadapi masa lalu? Aku pun, aku juga masih terjebak pada masa lalu, pada seseorang yang telah lalu. Tapi aku mencoba meninggalkannya, ku coba menanggalkan angan-angan yang takkan mungkin menjadi nyata dengannya. Ku biarkan semua harapku mati pada sosoknya. Ku ijinkan harapku tumbuh dan hidup padamu. Cinta dan citaku padamu sungguh besar. Andai saja kau tahu itu!

Tapi mengapa tak kau lakukan hal yang sama terhadapku?
Mengapa tak kau campakkan saja masa kelammu itu?
Bukankah dulu, kau pernah tersakiti olehnya? Oleh dia, perempuan masa lalu yang masih saja kau peluk!
Tak bisakah kau lebih berupaya untuk menghindar, untuk meninggalkan dan lenyap dari apa-apa tentangnya?
Kau tahu, bahagiaku pernah ku sakralkan hanya untukmu. Ku kira, kebersamaan kita selama setahun ini sudah cukup untuk meyakini hati bahwa kau lah yang pantas untuk ku raih dan aku satu-satunya perempuan yang pantas kau kasihi. Tapi ternyata tidak.
Aku terlalu polos, terlalu mudah terbawa alur perasaan. Jika saja aku menyambutmu dengan cara yang biasa, mungkin aku takkan sehancur ini. Jika saja aku bisa lebih mendengarkan ucapan mereka untuk tak memulai hubungan dengan seseorang yang masih tenggelam dalam kenangan, mungkin kini aku takkan jatuh hinga ke dasar.

Untuk kesekian kalinya, aku mati pada semua yang sebelumnya ku hayati dengan hati. Aku melebur dengan apa-apa yang sempat ku peluk hingga kemudian hancur. Hanya kekalahan yang ku dapat, atas engkau yang ku puja berbeda. Maaf, jika aku mengalah dan membiarkanmu kembali pada masa lalumu. Bukan karena aku lemah pun tak berdaya, tapi hatiku sudah terlalu penuh dengan hal-hal mengenai terabaikan, terlewatkan hingga terlupakan. Perihal penolakkkan sudah bisa aku terima. Meski tak secara langsung kau ungkapkan semua rasamu terhadapku, tapi aku sudah bisa membaca pilihan hatimu. Engkau lebih memilih untuk hidup damai bersama masa lalu mu yang belum tentu bisa menghapus pilu yang kau rasa. Dibanding hidup bersamaku, dunia barumu yang sudah ku yakinkan untuk selalu membuat harimu tersenyum mengharu biru.

Tak apa ... pergilah, kembalilah padanya. Kejarlah ia yang kau anggap pantas untuk di perjuangkan. Aku takkan menghalau mu, takkan pula mengejarmu. Mengapa demikian, karena aku tahu susah payahnya berlari demi seseorang yang jauh pergi meninggalkanmu. Biarlah, ku obati kesakitan ini sendiri. Kau tak perlu cemas, aku sudah paham betul perihal semua ini. Terima kasih ... Meski kau tak sempat ku miliki, setidaknya aku tersadar bahwa hatiku masih berfungsi. Masih bisa terbuka dan mau membukakan hati bagi orang lain, selain Tuan di masa lalu. Walau akhirnya, aku harus terluka (lagi).
Ku anggap kau sebagai kisah kemarin. Kisah yang singkat, dan semoga aku dapat dengan mudah membuangnya dan berlalu dengan gagah melupakannya.


Minggu, 18 Oktober 2015

Yang Menyemarakkan Perpisahan

Kita pernah sama-sama merunduk sambil menyebutkan satu persatu keinginan yang ada didalam kepala kita. Merapalkan semuanya secara terperinci, seakan takut Tuhan tak begitu mengerti apa yang kita mau pun butuhkan. 
Kita juga sempat duduk berdua, berhadapan dan secara bergantian mengeluarkan semua hal yang kita suka pun tak suka. Memberitahu, tentang keburukkan masing-masing. Seakan tak risau bahwa salah satu dari kita, (mungkin saja) diam-diam akan mundur, pergi meninggalkan salah satu diantara kita dikemudian hari.

Tak jarang kita berselisih paham, perihal ego yang selalu kita tinggikan. Seakan salah satu dari kitalah yang selamanya benar tanpa celah kesalahan sedikit pun. Tanpa sadar, intonasi kita saat berbicara semakin tegas, semakin ingin di dengar, semakin ingin dimengerti. Hinga salah satu dari kita mengalah, mengalah demi sesuatu hal yang kita rasa masih sangat pantas untuk dipertahankan.
Entah sampai kapan, tingkah kita terus seperti itu. Bagai dua bocah yang memperebutkan gula-gula. 
Terlalu keras kepalakah kita?

Kita pernah bersama melewati segala yang sempat membuat kita hampir saja menyerah. Menyerah pada keadaan, yang kita sebut bosan. Menyerah pada detik jarum jam, karena tak bisa berkompromi bahkan sering kali ingkar pada setiap pertemuan yang kita janjikan. Menyerah pada hati, yang mungkin sama-sama sudah sesak dengan drama yang ada diantara kita. Bahkan, kita pernah menyerah pada diri kita masing-masing. Memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Tanpa memberi toleransi pada kenangan yang kita rasa begitu indah saat itu. Bukan begitu, Tuan?

Memang, aku akui. Aku laksana api, yang sulit dipadamkan. Yang selalu berkobar membakar setiap apa-apa yang tak aku sukai. Tapi, apakah kau belum mengerti?
Itu caraku untuk menjagamu, caraku yang berbeda untuk membuatmu ada disetiap detik hidupku. Karena, bukankah engkau diciptakan untuk menemaniku? Untuk bersamaku, bukan yang lain!
Selayaknya api yang selalu kalah dan mengalah pada sang air, itulah wujudku saat dihadapanmu. Kau selalu berhasil merangkul dan membujukku untuk mengikuti semua inginmu. Meski seberapa membaranya amarahku saat itu, kau selalu menang melawan aku. Entah ini adil atau tidak, yang kurasa kisah ini hanya milikmu seorang. Bukan aku.

Pernah kita berseteru, aku yang merasa kau terlalu egois dengan urusan dan duniamu. Tak mempedulikan aku, tak menghargai waktu yang ku sisihkan untuk bertemu kekasihku, kau!
Berbelit-belit engkau menghindar dari hujanan pertanyaanku yang terus memburumu. Sampai kata yang sempat kita kutuk, untuk tak pernah kita ucapkan itu keluar dari mulut manismu. "Putus" Ucapmu. Sedang aku yang masih terbelenggu cemburu saat itu, mengiyakan keinginanmu. Hingga akhirnya kita memilih untuk berpisah. Putus ---

Tanpa berpikir panjang, kau inginkan perpisahan dan ku-iyakan keinginanmu. Mungkin, untuk beberapa waktu kita begitu gagah dengan keputusan yang kau buat dan ku ambil. Kita sama-sama begitu bangga, seolah hebat mampu meninggalkan rasa sakit pada seseorang yang pernah kita cintai. Tapi, apakah kau yakin dengan keputusan ini? Tak ada niatan untuk berubah haluan? Apa kau siap merasakan kesakitan dan memelihara kesepian tanpa hadirku lagi?
Tidak, mungkin bukan engkau yang menyakitiku. Mungkin juga bukan aku yang menyakitimu. Lantas, siapa yang sakit dan tersakiti diantara kita? 
Biarlah, biar aku yang merasakan kesakitan ini. Biar aku yang mati dirajam rindu yang masih tersisa disini. Tanpa ada kau, yang kini perlahan pergi.

Begitu banyak sesuatu tentang kita, hingga semesta pun bosan menyaksikannya. Cinta yang begitu rapuh dengan perpisahan. Sedikit-sedikit mengucapkan kata pisah, sedikit-sedikit menyerah. Apa mungkin, jumlah rasa sayang kita terlalu sedikit, Tuan?
Entahlah, biar menjadi kenangan. Usang.
Yang pasti... aku mulai menyadari, bahwa kita pernah sama-sama berusaha menjauh, menghindar bahkan bersembunyi. Kita pernah bersama-sama berada diujung jalan guna menyemarakkan perpisahan yang kita ciptakan sendiri. Semoga kita berdua tetap bahagia meski berada disisi lain yang berbeda.

--- Untuk Kita Yang Tak Lagi Bersama ---

Bertemankan Luka

Terhempas, terluka, menangis ...
Tak ubahnya seekor keledai yang terlampau polos atau bodoh. Semena-mena membiarkan jiwa beserta raganya berkali-kali merasakan kehancuran dan melebur bagai debu yang tertiup kemudian hilang. 

Apalah aku, Siapalah aku?
Hanya manusia yang mengikuti siklus alam. Jatuh hati, menaruh hati hingga kemudian patah hati. Patah hati karena kelakuan sendiri. Mencintai dan terlalu mengagumi seseorang yang tak pasti. Persis seperti romansa lawas yang tak pernah hilang dari dunia ini.

Entah, mengapa harus ada seseorang seperti aku?
Yang rela hidupnya dikoyak-koyak rindu yang tak berujung temu. Diombang-ambing perasaan yang tak menjanjikan kebahagiaan. Apakah ada, orang selain aku yang lelah disiksa oleh rasa?
Jika ada, tolong pertemukan aku dengannya. Setidaknya, tunjukkan!

Setiap pagi, aku menaruh secercah harapan yang (mungkin) bisa berbuah nyata. Hingga pada gelap malam aku rajin menyimpan asa untuk bisa menggapai cinta. Entah cinta atau cita-cita, sepertinya aku terlalu berambisi untuk meraihnya. Tapi tunggu, bukankah orang-orang diluar sana selalu berkata "Kejar cintamu, hingga kau dapat dan meraih kebahagiaan nirwana!"

Kebahagiaan macam apa, kebahagiaan yang seperti apa?
Coba tunjukkan padaku, wahai orang-orang yang mampu meraih cinta!
Yang ada, aku hanya mendapatkan hadiah sebuah kekecewaan. Semakin ku coba berlari dan meraihnya, semakin jauh bahkan terlampau jauh ia meninggalkan aku.
Maaf, selama ini aku hanya merasakan cinta yang diabaikan. Cinta yang diragukan tanpa pernah ada kesempatan untuk meyakinkan. Jangankan untuk meyakinkan, bahkan untuk menunjukkan cinta saja aku tak diijinkan.
Akankah keindahan akan segera menyapa?
Setidaknya, memberikan senyuman hangat pada kuncup bunga dihati ini. Entah kapan bisa berkembang dan menyajikan wewangian yang semerbak. Yang ada, hanya layu dan gugur.

Aku memang bukan seseorang yang pandai merawat cinta. Aku hanya seseorang yang rapuh dan rentan pada apa-apa yang menghadirkan kekecewaan. Perihal terlupakan, terabaikan hingga terlewatkan aku sudah paham betul bagaimana rasanya. Sudah terbiasa.

Tapi, lagi-lagi mereka meracau. "Jika kau merasakan sakit, temukanlah seseorang yang sama merasakan sakit hati sepertimu. Kemudian, jatuh cintalah kalian. Hingga luka itu sedikit demi sedikit memudar!"
Apa?
Gagasan macam apa, itu? 

Bagaimana kau bisa jatuh cinta sedang kau masih merasakan sakit yang teramat sangat karena kegagalan?
Bagaimana kau bisa menyembuhkan luka pada jiwa-jiwa yang setengah mati mempertahankan namun tak dipertahankan? 
Kau yakin itu cinta, bukan sebuah pelarian?

Mungkin kalian menilai, aku hanya seseorang yang lemah, yang mati perlahan karena diperbudak cinta.
Tapi aku manusia yang setidaknya mampu merawat hati yang telah tak berupa. Aku hanya manusia yang sanggup memelihara kesedihan agar tak terlihat oleh khalayak ramai. Dan sekali lagi, aku hanya manusia yang berani menyembuhkan luka dan kesakitanku sendiri. Tanpa orang lain, tanpa sebuah pelarian dihidupku.

Biar luka ini menganga begitu lama. Suatu saat, Sang pemberi kebahagiaan akan menggantinya dengan kesembuhan yang kekal tanpa luka seincipun. Yang ada hanya ketenangan didalamnya.



Minggu, 30 Agustus 2015

Patah.

Disaat jemari tak kuasa lagi menggenggam. Disaat yang ada dalam genggaman mulai berlari. Mungkin ia sudah bosan, hinga memilih pergi. Kemudian tak sengaja ku dengar suara dalam hati; patah.
Disaat waktu yang ku andalkan untuk bertemu tak bisa menghadiahkan rindu. Disaat sosok sempurna tanpa cacat seinci itupun tak dapat meluangkan sesuatu yang kusebut waktu. Mungkin ia sudah tak ingin melihatku, kemudian secara perlahan, ia pun memutuskan pergi. Kemudian untuk yang kedua kalinya, ada suara dalam hatiku; patah.

Ketika aku mulai berdiri, dan mencoba berlari untuk meninggalkan semua. Ketika itu juga aku terseret ke lingkaran waktu, waktu saat masih tertanam kata bersama. Aku gagal, tak paham cara melupakan dan melarikan diri dari sosoknya. Kenangannya indah menyilaukan, membuatku terbuai hidup dalam angan-angan semu. Padahal, dia sudah jauh pergi. Lagi-lagi hatiku mengeluarkan suara; patah.
Ketika aku mulai tenang. Ketika itu juga aku merasa sepi. Hatiku seakan kosong tak berpenghuni. Padahal, sudah jelas-jelas penghuni terdahulu tak layak untuk menempati hati ini. Tetapi, tetap saja aku kurang waras untuk meyakini bahwa ia sudah pergi. Suara dalam hatiku semakin keras terdengar; patah.

Semua telah berlalu. Membuang apa-apa yang tak pantas untuk dijaga. Hanya aku sendiri yang masih keras kepala, menjaga apa-apa yang telah lama hancur berserakan, berantakan, berkeping-keping hingga tak jelas rupa. Kembali, hatiku bersuara; patah.
Semua telah tertawa. Maaf, maksudku semua tengah menertawakan ku. Yang masih meyakini seseorang yang tengah pergi akan kembali. Dan mereka teriak "tak mungkin!". Disitu hatiku terkoyak, suara itupun kembali terdengar; patah.

Berkali-kali aku tertatih. Berkali-kali kurasakan letih, pada semua yang menyeruak masuk kedalam labirin-labirin pikiranku hanya untuk membuatku kembali mengenang ia yang telah pergi. Untuk apa kau masih datang mengganggu? Tak tahukah engkau, bahwa aku lemah menghadapi kenyataan ini? Saat itu, hatiku teriak; patah.
Berkali-kali bayangannya menggoda kewarasanku. Mengajakku bermain dengan apa-apa yang masih menjadi harapku. Sungguh kejam. Tak hentinya ia mengganggu, memasung diriku yang tengah terbujur kaku tersiksa karena masa lalu. Sering aku berontak, bergumam padanya "Pergilah, aku tak membutuhkanmu. Aku bisa mengobati dan memperbaiki semuanya (meski) tanpamu. Pergi jika memang itu inginmu. Aku merestui". Dan hatiku masih merasakan sakit, tersadar terlalu sering aku membiarkannya patah. Semenjak saat itu, tak lagi ku dengar suara dalam hati ini; patah.



Sabtu, 22 Agustus 2015

Perempuan Dan Tangisannya.

Redalah. Wahai air suci yang menetes dari indera penglihatan. Tak letihkah, engkau mendera dan membasahi pipinya? 
Bisakah, kau mengering?
Kasihan, ia tak mempunyai apapun atau siapapun untuk membasuhmu. Ia terlalu malu untuk mengakui luka yang masih menganga di dadanya. Tangis!

Tangisannya, tak mampu mengubah segala tentang mu. Semesta tahu itu. Tapi setidaknya, tangislah yang mampu menenangkan hatinya walau sementara. 
Jika hendak menyentuh hatinya, engkau salah, Tuan. Percuma. Hatinya hanya tinggal kepingan, mungkin karena seringnya ia terluka atau dilukai.

Entah siapa yang tega melakukan itu, Tuan. Yang ku tahu, ia senang bertemankan tangis setiap malam. Seolah memanen kesakitan yang diperolehnya.
Tapi tenangkan dirimu, Tuan.
Aku lihat, ia cukup memegang kendali di hidupnya. Ia mampu berdiri, berlari (lagi) walau kadang terjatuh (lagi).

Tuan, jika kau ingin memberi penawar bagi kesakitannya. Datanglah, tak perlu meragu. Barang kali, selama ini engkaulah yang ia harap dan ia cari.



Kamis, 30 April 2015

Aku Bisa Apa?

Semua diluar kendali. Tak ada yang bisa diharapkan. Dari rencana, mimpi juga cita-cita yang telah lama di rangkai, kini sudah luluh lantah berserakkan. Apa yang akan terjadi, tak bisa lagi dipungkiri.
Pernah ku mengira, semua aman. Berada tepat di jalurnya, tapi kenyataannya? Tak semudah dan seindah yang dipikirkan.

Ku coba berdiri, melangkah dan mengejar sekuat yang aku bisa. Demi apa? Demi memperbaiki keadaan, walau tak bisa mengembalikannya seperti semula, setidaknya aku masih mampu untuk (mencoba) memperbaikinya. Walau lagi-lagi ada saja kata "walau" yang hadir didepan setiap usaha yang aku lakukan.
Sebenarnya, aku tahu ini percuma yang berbuah sia-sia. Sama saja bukan?
Tapi aku, sang puan yang tak mudah kalah pada keadaan. Ku coba, menarik kembali apa-apa yang sempat ada dan ku miliki dahulu. Dan kau tahu, itu sulit.

Maaf, jika aku sekeras ini. Keegoisan ku memang selalu merajai pikiranku. Sulit untuk menyadarkan bahwa tak ada guna mempertahankan apa-apa yang memang sudah ingin pergi dari lingkaran hidupku.
Bukan maksud mengekangmu, bukan juga mengganggu atau menghantuimu. Aku pun sadar, kau sudah tak ingin lagi mengenal aku. Mengenal aku dengan segala tentang ku.

Tapi apakah semudah itu, Tuan?
Semudah itu kah, kau mengingkari semua ucapan yang selalu ku aminkan?
Semudah itu kah, kau menyerah pada jarak yang (dulu) kau anggap tak seberapa itu?
Semudah itu kah, kau melupa tentang segala yang sempat kita berkahi bersama?

Ku akui, kau sebagai segala. Tempat ku berpulang, pun kembali. Tak bisakah, engkau bersikap sama seperti ku?
Mungkin hatimu belum bisa berucap, sehingga mudahnya engkau memilih keluar dari lingkaran hidupku. Ingat, saat pikiranmu tak lagi waras. Setidaknya, kau masih memiliki hati yang berfungsi dengan baik.
Lelah yang kau rasa itu wajar. Begitu juga dengan lelahku. Tapi tak ada niatan sedikitpun dariku untuk menyerah. Tidak, Tuan.

Tapi apalah yang lebih penting dari kebahagiaan dan senyummu?
Tega rasanya, jika aku membuatmu kembali bersama dan memerintahkan engkau untuk menetap denganku. Sedangkan, sama sekali tak ada damai dan irama gembira dihidupmu. Lagi-lagi, aku hanya bisa berkata "Aku bisa apa?"
Coba jawab. Aku bisa apa, Tuan?!

Aku, Puan si penikmat kopi. Sedang engkau, Tuan si pecinta wine. Aku bisa apa?
Aku, Puan yang menyukai berkahnya pagi. Sedang engkau, Tuan yang menyayangi sakralnya malam. Aku bisa apa?

Setidaknya aku bisa mengerti. Tak baik memaksakan kehendak. Lebih baik kalah dan rela membiarkan cinta pergi dari pada harus mempertahankannya sedang ia, sudah tak ingin bertahan dengan semua yang ada.
Dan setidaknya Tuhan dan semesta menyaksikan bahwa keyakinan ku luar biasa, untuk (mencoba) menang dan mempertahankan engkau, meski akhirnya aku juga yang kalah dan menuai lelah sendirian.

Senin, 27 April 2015

Jatuh Cinta?

Jatuh cinta, dengan mudah semua orang bisa mendefinisikan arti dari kata tersebut. Iya, jatuh cinta.
Berbagai macam asumsi yang diberikan oleh kaum yang menyukai romansa walau kadang mereka merasakan nelangsa karena jatuh cinta. Pernah ku dengar jatuh cinta itu bahagianya tiada tara, bunga merekah dimana-mana. Bahkan, menutupi ruang di hatimu. Sesekali juga aku mendengar, jatuh cinta itu sakit. Sudah jelas bukan, di awal --Jatuh, tentu saja sakit. Bukankah seperti itu?

Tapi kita layaknya manusia kebanyakan, terlalu mengagungkan cinta dan menyukai jatuh cinta. Padahal, seperti kata Efek Rumah Kaca, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. 
Ah, menurutku mana bisa biasa saja?
Jika melihat dia bersama yang lain, pasti curiga dan cemburu menghampiri.
Jika telah lama tak berjumpa, pasti rindu datang mengganggu. Jangankan lama tak jumpa, sehari saja tak tahu kabar atau melihat sosok yang dicintai, pasti secara tak sadar kita berubah menjadi pribadi yang penuh drama. Lebih banyak merenung, melamunkan wajah sang pujaan. Padahal belum tentu juga kan, yang kau rindukan sedang merindukan kau juga?
Terkecuali, bagi engkau yang memang sudah memiliki cinta yang bersambut, yang berbalas, yang berdua merasakan setiap suka dan duka yang ada. Jika kau telah menemukan dan mendapatkan cintamu, ku ucapkan selamat!

Lantas, bagaimana dengan Tuan dan Nona yang lain? Yang belum meraih cinta seseorang yang selama ini diinginkan. Sabar dan sadar ...
Mungkin, hanya itu yang bisa semesta katakan. Ya, kalau saja semesta bisa bicara pada kaum-kaum yang sedang dimabuk cinta.
Semesta melihat, semesta mendengar, serta menyaksikan tiap kuncup rasa yang mekar dan jatuh menjadi cinta diantara kita (manusia). Jadi, sabarlah dalam menghadapi seseorang yang kau rasa itu cintamu. Sadarlah dalam menyikapi setiap rasa cinta yang tumbuh pada seseorang yang kau cintai.

Kita terlalu asyik terbuai dengan keindahan saat merasakan jatuh cinta. Hingga terlalu banyak dan khilaf memuja dan memuji orang yang dicintai. Padahal sudah jelas, tak ada sosok yang sempurna dan pantas di agungkan selain Tuhan sang pemelihara semesta. Tapi kita (manusia) tak pernah mau tahu mengenai hal itu, terlalu egois dengan kebahagiaan yang kita anggap sendiri. 
Jika sudah terbiasa dengan kebahagiaan karena jatuh cinta dan (syukur-syukur) mendapatkan cinta itu, kau pasti tak mau mengenal kesedihan. Kau tak mau tahu, apa itu duka yang dibuat oleh seseorang yang kau cintai. Hingga akhirnya kau terluka oleh sesuatu yang kau anggap bahagiamu selama ini. Dan pada keadaan yang terburuk, berlanjut pada cacian yang mengutuk kesedihanmu karenanya. Lukamu mulai memberikan kesakitan yang begitu dalam di hatimu. Tanpa kau sadari, cinta yang kau banggakan itu, kini berubah menjadi sesuatu yang kau benci. Hanya karena ketidaksesuaian dengan harapanmu. Kau kutuk dalam do'a, pribadi yang juga sama diciptakan oleh Tuhan. Apa pantas yang seperti itu, kau sebut sebagai cinta?

Dimana kesenangan yang ada pada saat kau mengalami jatuh cinta? 
Jika saat kau tergores sedikit saja oleh luka yang dibuat olehnya, kau meronta dan tak bisa menerima duka.
Dewasalah jika memang kau merasa sudah pantas untuk jatuh cinta. Jangan seperti bocah yang masih mencintai gula-gula. Mudah tertawa namun sering kali menangis jika sesuatu yang di sukai tidak ada.
Untuk engkau, yang sedang jatuh pada cinta. ---

Minggu, 26 April 2015

Sebuah Tanya Yang Terjawab

Perihal segala kata, tanya dan sapa yang hanya berputar-putar di kepala dan terkubur dalam hati.
Malam semakin larut, tapi dua insan ini tak jua mengakhiri pertemuannya. Pertemuan yang dicambuk oleh rindu. Seolah mereka mampu mengutuk waktu untuk diam dan berhenti (walau sejenak).

Dua sejoli ini duduk berhadapan, hanya dipisahkan oleh satu meja bundar yang jaraknya tak terlalu membuat mereka menjauh. Sang lelaki itu bersandar pada kursi, sembari masih memperhatikan tiap detail paras perempuan yang hadir dihadapannya. Sedang perempuan yang diperhatikan itu, hanya mampu menggenggam gelas kopi yang sudah kosong --hanya tersisa ampasnya. Seolah begitu banyak pikiran-pikiran liar yang membuatnya gelisah.

"Sepertinya di semester 7 ini, nilaiku menurun. Buruk." Ucap lelaki bertubuh tinggi, berhidung mancung, memiliki kulit yang putih, dengan model rambut cepak dan berperangai baik itu.

"Kenapa bisa seperti itu?" Kata perempuan yang pandangannya masih saja tertuju pada gelas kosongnya.

"Entah, kali ini pikiranku terbagi."

"Terbagi? Bagaimana pikiranmu bisa bercabang?"

"Menurutmu, hal apa yang bisa membuat pikiranku menjalar dan bercabang seperti saat ini?"

"Mana aku tahu, aku bukan peramal."

"Akhir-akhir ini kau membosankan. Tak seasyik dulu." Tegas lelaki itu. Kini, ia memajukan tubuhnya. Tak lagi bersandar pada kursinya. Hingga tatapannya semakin jelas tertuju pada perempuan berambut panjang sebahu itu.

"Sudah tahu aku ini membosankan. Mengapa juga masih mengajakku untuk bertemu?"

"Menurutmu, apa yang membuatku selalu ingin bertemu dengan perempuan yang selalu bergelut dengan tulisan, cerita dan prosa-prosanya itu?"

"....." Perempuan itu terdiam. Tak mampu berucap sepatah kata pun.

"Sampai kapan kau mau diam seperti ini? Apakah, sampai semuanya berubah meski tanpa kau sadari?"

"......"

"Ayolah, utarakan apa yang kau rasa. Semanis atau segetir apapun itu. Katakan padaku."

"Apa pedulimu?"

"Apa peduliku, katamu?!"

"Jangan ketus seperti itu padaku." Pinta perempuan yang bingung dengan keinginannya sendiri.

"Kau. Selalu bisa membolak balikkan perasaan ini. Dengan berbagai cara yang kau punya. Terkadang, kau membuatku merasa seperti seseorang yang sangat berarti. Kadang pula aku takut, dengan sikapmu yang tiba-tiba acuh. Seakan tak butuh kehadiranku disisimu.

"Maaf, bukan maksud mempermainkan. Tapi, aku juga tak paham betul perihal perasaanku."

"Kau meragu?"

"Perihal apa?"

"Perihal perasaanmu. Perasaanmu yang mana? Perasaanmu pada siapa? Untuk siapa? Katakan Estu!"

"Damar, apa kau pernah jatuh cinta?"

"Jatuh cinta? Entahlah, untuk saat ini aku masih bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah benar, semua ini cinta. Atau hanya penasaran semata pada sosok yang selalu sesuka hati datang dan pergi dalam khayalku."

"Siapa, perempuan itu? Perempuan yang mengambil alih pikiranmu?!"

"Menurutmu, siapa?!"

"Mana aku tahu, kau pikir aku peramal?" Rasa ingin tahunya memuncak dalam dada.

"Hahaha. Kau, tak pernah menjawab setiap pertanyaanku dengan benar."

"Aku ingin kopi." Ucap perempuan itu.

"Gila. Kau selalu mengalihkan apapun pada minuman hitam pekat itu."

"Aku ingin memesan kopi lagi!"

"Baiklah Nona, akan ku pesankan. Kau tunggu sebentar." Beranjak dari tempat duduknya menuju ke meja barista yang sedang sibuk melayani tamu kedai yang lainnya.

Pikiran perempuan ini melayang entah kemana. Berkecambuk di dalam. Merobek-robek dinding hatinya, menuju hati terdalam. Dimana seseorang yang benar ia cintai. Lelaki itu atau seseorang yang saat ini sedang berada dihadapannya?

Masih, misteri. Apa yang akan ia jelaskan selanjutnya, apa yang harus ia katakan padanya. Harus mulai dari mana ia membahas perihal takdir cintanya. Cinta, menjadi satu tanda tanya besar dalam hidupnya. Setidaknya hingga saat ini. Entah, apa yang terjadi esok. Apakah masih ia bertanya-tanya soal cinta?

"Ini, minumlah!" Sembari menyodorkan segelas kopi yang terisi penuh pada perempuan yang masih duduk dihadapannya itu.

"Terima kasih. Damar, apa mungkin kita bisa berkata jujur mengenai segala yang selama ini menjadi kerisauan di kepala?"

"Maksudmu? Kerisauan perihal apa, Estu?"

"Mengenai teman. Teman hidup." Jawab perempuan itu, dengan suara yang rendah.

"Kau berbicara mengenai pasangan hidup?"

"Tidak. Maksudku, mungkin iya."

Mereka berdua terdiam, tak jarang saling menatap satu sama lain. Angin malam yang berhembus dan menusuk tulang mereka pun, tak mereka hiraukan. Seolah keduanya mengumpulkan nyawa untuk mengatakan segala yang selama ini mengganjal dalam hatinya masing-masing. Tapi, apakah semuanya sesuai dengan apa yang mereka pikir dan bayangkan?

"Estu .." Meraih tangan kiri perempuan itu, menggenggamnya cukup erat.

"Apa yang akan kau lakukan?" 

Tangan kanan lelaki itu, merogoh saku dibagian celananya. Terdapat benda berupa kotak kecil berwarna ungu muda persis seperti warna kesukaan perempuan itu. Entah apa yang terdapat didalamnya. Perlahan ia tunjukkan kotak kecilnya tepat di wajah perempuan itu. Lalu ia membukanya, didalamnya terdapat emas berbentuk lingkaran yang terukir nama Restu. 

"Cincin?" Ucap perempuan yang sedang keheranan dengan tingkah lelaki yang telah ia kenal selama hampir 6 tahun itu.

"Iya. Aku rasa, ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Perihal perasaanku, perihal cinta juga masa depan yang ingin aku bagi dan jalani bersamamu."

"Maksudmu, kau melamar ku?"

"Anggap saja begitu. Apa kau mau, memakai benda yang mungkin menurutmu tak seberapa ini. Kau mau, menghabiskan sisa waktumu bersamaku. Apa kau bersedia, Estu?"

"emm ... Mengapa tak kau katakan sebelumnya?"

"Apa bedanya dengan sebelum atau sekarang? Bukankah sama saja? Sama saja, tak ada beda. Aku akan tetap memintamu untuk menemaniku selamanya. Baik kemarin, sekarang atau pun esok." 

"Bukan itu, maksudku. Tak sesederhana itu, Damar. Semua berbeda. Tak seperti inginmu lagi." Jelas perempuan yang melepaskan genggaman lelaki yang memintanya itu.

"Apa kau menolakku? Kau mengabaikan rasaku? Mengapa?"

"Aku juga mencintaimu Damar." Mengusap pipi lelaki bertubuh tinggi itu. Kulitnya halus, meski wajahnya mengisyaratkan rasa cemas.

"Lantas, mengapa kau tak ingin memakai cincin ini di jari manismu? Ulurkan tanganmu. Sini, aku ingin melingkarkan cincin ini di jari manismu."

"Tidak Damar, tidak semudah itu."

"Ayolah, permainan apa lagi yang akan kau mainkan, Restu?"

"Damar, kita bersama dengan beda dan jeda yang selama ini tak sengaja hadir didalam hidup kita. Lingkaran hidupku tak pernah lepas dan terhindar dari sosokmu. Aku berterima kasih dan bersyukur atas hal itu. Tapi,"

"Tapi apa?"

"Meski kita sudah bersama dan bertahan untuk bersama selama dan sejuah ini, takdir tetap saja tak berpihak pada keinginanmu pun keinginanku."

"Maksudmu? Keinginan apa?"

"Kau teramat bodoh, Damar."

"Terserah apa penilaianmu, tak peduli. Yang pasti aku bodoh juga karenamu." 

"Kau tahu, sulit untuk bertahan dan meyakinkan diri untuk bersama dengan seseorang yang tak memberikan kepastian. Setelah sekian bersama tanpa status yang jelas, mengapa tiba-tiba kau pinta aku untuk menikah denganmu?" Tanya perempuan yang pandangannya tak berpaling seinci pun dari lelaki yang mencintainya itu.

"Kau bilang, aku tak memberimu kepastian? Lantas kau anggap apa semua kejujuran ku tadi? Bukankah, aku baru saja mengatakan sebuah pengakuan bahwa aku mencintaimu dan teramat menginginkan mu?"

"Iya, iya. Kau memang mengatakan semuanya tadi. Baru saja. Tidak dari dulu, tidak sejak dulu." Kali ini, ia mengucapkan kalimat dengan nada yang cukup tinggi pada lelaki itu.

"Memang, apa bedanya. Apa bedanya, Estu?" Tegas Damar yang mulai kesal pada teka-teki yang sedang dimainkan perempuan itu.

"Berbeda Damar, sekarang tak seperti dulu."

"Jelaskan padaku, apa kau sudah tak menginginkan aku?"

"Tidak, aku masih menginginkanmu!"

"Lantas apa yang menjadi masalahnya? Apa lagi?"

"Masalahnya, masalah yang selama ini mengintaiku, kini tengah hadir dihadapan ku. Aku tak bisa menjawab atau pun menerima serta membalas cintamu."

"Mengapa?"

"Karena aku memiliki yang lain, Damar."

"Apa, bagaimana bisa. Mengapa tak kau katakan sebelumnya, bahwa kau telah memiliki yang lain?"

"Damar ... Seseorang yang selama ini kau anggap cintamu, kini sudah tak mungkin lagi bisa jadi inginmu. Telah aku coba mengatakannya, tapi aku bingung. Entah dari mana aku harus mengatakannya."

"Kau sudah memiliki orang lain? Yang bisa menjagamu dalam ketakutanmu, yang bisa menenangkanmu dalam kerisauanmu? Apa bukan aku, orang lain itu?"

"Tidak Damar, maaf karena bukan engkau. Jujur, aku pun mencintaimu dengan apa yang kita lalui selama ini. Tapi, takdir berkata lain. Takdir tak bisa sejalan dengan keinginan kita. Aku sudah menjadi milik lelaki lain, aku sudah bertunangan."

"Tapi belum menikah, bukan?!" Sahut lelaki itu dengan nada kesal.

"Apa kau gila, apa maksudmu kau akan terus berusaha mendapatkan ku kembali?"

"Iya, Restu. Jika iya, memang kenapa?"

"Tidak, jangan lakukan itu. Jangan lakukan sesuatu yang sia-sia. Bulan depan aku akan menikah. Tak ada yang bisa kau lakukan. Terlambat, kau terlambat Damar."

"Aku tak bisa mendapatkan mu? Tak bisa bersamamu? Hanya karena terlambat mengatakan semuanya padamu? Ini salahku?"

"Tidak, tak semua murni salahmu. Aku pun ikut mengambil andil dalam kesakitan yang sedang kita panen saat ini."

"Tidak, bukan kita yang sakit. Hanya aku yang merasakannya." 

"Tidak, aku pun merasakannya. Jika saja aku lebih peka untuk mengetahui bahwa kau juga mencintai aku, mungkin aku masih kuat bertahan menantimu untuk mengucapkan cinta kepadaku. Dan mungkin, aku takkan dengan seenaknya menerima cinta dari sosok yang lain selain dirimu."

"Apa yang membuatmu ragu?"

"Kau tak tahu perasaanku. Kecemasan yang tiba-tiba datang disaat aku melamunkan dirimu. Selama ini, aku hanya menerka-nerka semua perhatian yang kau beri. Apa ini rasa sayang, cinta atau hanya rasa empati semata. Selama ini aku menyimpan sejuta tanya. Aku takut jika persepsi ku salah, aku takut kesimpulan yang ku buat dalam diam ini menyakiti perasaanku sendiri. Sempat terpikir olehku, untuk mengutarakan cinta padamu."

"Lalu, mengapa tak kau lakukan? Mengapa tak kau utarakan?"

"Mengapa tak aku utarakan? Aku perempuan. Aku wanita. Tabu. Tabu bagi kaum kami untuk mengutarakan cinta terlebih dahulu. Selama ini, kodrat kami hanya menanti ucapan-ucapan yang selama ini kami harapkan."

"Jadi, kau menyalahkan aku?"

"Berkali aku katakan, aku sama sekali tidak menyalahkan mu. Tidak sekalipun." Ucap perempuan itu dengan penuh sesal.

Kini, dada keduanya menjadi sesak. Sesak dengan kenyataan yang mereka dapatkan. Kupu-kupu yang selama ini berterbangan di dalam hati keduanya, perlahan pergi dan hilang.Yang ada hanya sebuah sesal yang tandus. Membunuh, menyesakkan secara perlahan. Hingga meninggalkan luka baru yang entah kapan bisa terobati. Luka yang muncul hanya karena, sebuah tanya yang tak berani mereka tanyakan. Luka yang muncul hanya karena, sebuah cemas yang tak mereka utarakan dengan segera.

Perempuan yang selama ini menemaninya. Lelaki yang selama ini ada untuknya. Kini tak lagi bisa menghiasi hari-hari mereka berdua. Semua hancur dengan kenyataan dan penjelasan yang mereka hadirkan secara terlambat. Terlambat mengutarakan dan mengakui bahwa mereka cinta dan saling mencintai.

"Baiklah, jika itu memang keputusanmu. Aku hargai. Aku do'akan kehidupan baru yang bahagia dengannya meski tanpa aku." Ucap lelaki yang sudah lemas dan muak dengan keadaannya.

"Maafkan aku, Damar .."

"Jangan ucapkan itu. Tak usah kau ucapkan maaf. Takkan merubah segalanya, percuma."

"Kau boleh mencaci aku, jika kau terluka." pinta perempuan itu.

"Tidak. Aku takkan melukai perempuan yang aku cintai. Maaf, jika perasaanku padamu ku utarakan secara terlambat. Maaf atas segala yang membuatmu cemas dan menunggu aksi kepastian ku padamu. Maaf, jika telah membuatmu merasa seperti orang yang sedang dipermainkan."

"Kita berdua sama, Damar"

"Sudah, tak perlu menghiburku. Seandainya saja saat pertama bertemu aku sudah mengatakan suka kepadamu, mungkin kini kau tengah merencanakan resepsi sakral bersamaku."

"Iya, seandainya saja aku juga berani mengatakan kesungguhan cintaku padamu. Mungkin, aku takkan menerimanya." Sahut Restu.

"Tak apa, mungkin ini takdirku untuk tak berdua denganmu. Kita akhiri sekarang?"

"Aku akhiri semuanya. Perihal tanya yang sempat tak terjawab. Perihal cemas yang sempat merajai kepala. Maaf dan terima kasih atas kebahagiaan yang kau bagi dan kau hadirkan selama ini. I love you, Damar."

"Jangan kau perpanjang lagi kisah ini. Cukup aku yang salah dan kalah. I love you, but I can't make you to be mine." Mengucapkannya dengan senyuman pada Restu.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Akan pergi kemana kau setelah ini?"

"Tak ada. Tak ada yang akan ku lakukan selain mengenangmu. Aku juga takkan pergi kemana pun, aku hanya ingin melihatmu pergi meninggalkan aku dengan sedikit senyuman dibibir mu."

"Apakah itu permintaanmu?"

"Anggap saja begitu, permintaan terakhir ku padamu. Ayo lakukan."

"Baiklah, akan ku lakukan. Aku pergi, Damar. Maaf, untuk aku yang tak bisa tinggal di hati mu." Berjalan menjauh, sembari melengkungkan senyuman pada lelaki yang tengah sakit dibuatnya.

"Pergilah dengan sejuta harapan baru yang kau lahirkan pada lelaki asing itu. Semoga semesta memberkatimu dengan anugerah kebahagiaan, Restu." Ucap lelaki itu dalam hati.

Mereka pergi berlawanan arah. Ke arah yang berbeda, mereka tapaki jalan yang tak lagi mereka lewati berdua. Tapi tak mengapa, setidaknya tanya yang ada diantara keduanya sudah terjawab. Meski terselesaikan dengan penyesalan diantara keduanya (mungkin).

***

Tanpa mereka duga, Tuhan telah menghadiahkan sesuatu yang mengejutkan pada pertemuan mereka kali ini. Pelajaran, tentang apa sulitnya mengutarakan apa-apa yang menjadi tanya dalam hidupnya selama ini. Pelajaran, tentang apa salahnya menyatakan cinta pada seseorang yang memang benar kita cintai. Tanpa ada rasa takut, tanpa ada rasa malu. 

Cinta, memang terkadang selucu itu. Mengetahui bahwa seseorang yang selama ini diinginkan juga sama menginginkan kita. Mengetahui bahwa seseorang yang selama ini dicintai juga sama mencintai kita. Tapi sayang, semua diketahui dalam waktu yang salah. Dalam keadaan yang tak lagi berpihak pada kita. Jika sudah seperti itu, apa yang didapat selain penyesalan yang terus menerus datang menyapa?
Penyesalan adalah hadiah yang didapat dari segala yang ditunda, dari segala yang diremehkan, dari segala yang tidak kita dengar.

Untuk engkau, yang sedang atau tengah berada dengan seseorang yang kau inginkan dan kau cintai. Gunakan waktu dan keadaan yang kau miliki, manfaatkan semua untuk mengutarakan semua rasamu padanya. Jangan tunggu nanti atau esok, untuk mengakui bahwa kau teramat mencintainya. Sebelum, semua terlambat. Sebelum segalanya tak berpihak lagi padamu.

Baik adam atau hawa, mereka takkan hina jika mengucapkan cinta pada lawan jenis yang mereka cintai. Sebaik-baiknya cinta, adalah cinta yang sanggup kau dapatkan. Seburuk-buruknya cinta, adalah cinta yang kau pendam tanpa sempat kau utarakan. Ucapkan walau harus mendapatkan penolakkan. Utarakan walau harus mendapatkan pengabaian. Selama kau telah mengakui cinta itu, sadar atau tidak kau telah mencoba mendapatkan cinta itu. Berbahagialah bagi engkau yang merasakan cinta yang bersambut. Bersyukurlah bagi engkau yang mengalami penolakkan, setidaknya kau telah mengutarakannya tanpa harus menyimpannya dalam diam.

Senin, 30 Maret 2015

Pembenci Yang Merindukanmu

Terbiasa bertemankan malam membuat kau melupa mengenai teman yang siap menemani mu secara utuh, Tuan.
Perihal melupakan dan dilupakan. Satu sisi ada jiwa yang bersikeras mengingatkan. Sedang sisi lain, segera melupakan dengan penuh kebanggaan.

Tapi aku takkan risau, Tuan. Sebab semesta tak pernah ingkar dalam memberi kejutan dan menghadiahkan karma pada ia yang pantas mendapatkannya.
Maaf, bukan maksudku untuk mendendam. Jika saja kau bersikap manis. Mungkin sudah ku persembahkan pujian dalam do'a untukmu, Tuan.

Bukan seperti sekarang ini. Aku pembencimu yang tak kuasa berpaling dari sosokmu. Aku pembencimu, sekaligus puan yang takkan berhenti merindu. Merindukanmu.
Karena merindukanmu, bagian terbaik dalam hidupku. Sebuah kebahagiaan yang hakiki, meski semua hanya mimpi. Setidaknya karena itu aku berdiri.

Minggu, 29 Maret 2015

(Masih) Tentang Tuan

Barang kali, memang begitulah cinta. Meski nyata memberi luka namun selalu terganti dengan suka. Berkali-kali terjatuh tapi tak juga mengeluh. Bukan maksud untuk berlagak tangguh. Tapi jiwa memilih untuk menangguhkan hati, dari pada mengeluh dan menjauh dari sumber kebahagiaan itu.

Mencintaimu lagi dan lagi. Terus seperti itu tanpa henti. Bukan maksud merendahkan diri pada sosok sempurnamu. Tapi apa daya, memang begitu adanya. Dan mengenalmu sekaligus mengenangmu, memang itu tugas yang diberikan Penguasa waktu padaku. Berkali-kali aku mengelak, sebanyak itu pula aku sesak.

Jejakmu kembali menuntunku ke masa itu. Berlalu tapi tak jua bisa habis ku lalui. Jejakmu terekam jelas, masih bisa ku cari dan ku tapaki. Perihal kepergianmu yang tak sengaja aku kutuk dalam do'a. Melarang dan menahanmu sekuat tenaga. Namun percuma, kini kau sudah terlalu jauh melangkah.

Karena engkau, Tuan. Segala bahasan yang takkan habis dalam pikiranku. Mengalir dan menjalar setiap waktu, mengkontaminasi kewarasanku.
Tuan. Engkau tempat segala harap bermunculan. Tempat segala angan terpendam yang di inginkan menjadi nyata. Dimana sumpah dan do'a di tangguhkan.

Sedikit demi sedikit kewarasanku mulai terkikis. Saat ego untuk menguasai seisi duniamu semakin bengis. Tak jarang, disisi lain aku menangis. Menangisi asa yang tak kuasa ku jadikan nyata bersamamu. Tuan, maaf  atas segala harapku yang berlebih. Disini, masih ada hati yang penuh rindu dan tak jarang merintih.

Rabu, 25 Februari 2015

Berbahagialah

Untuk siapa pun yang sedang dilanda pilu, hidup memang tak selalu sesuai dengan kehendakmu. Takdir takkan pernah menuruti semua perintahmu. Bahkan, mimpi yang selama ini kau harap menjadi nyata, tak jua berwujud nyata dalam hidupmu.

Lantas, apakah engkau bisa dengan bebas mencaci kehidupan yang kita jalani ini?

Aku rasa tidak, bagaimana menurutmu?

Tuhan menciptakan semesta, lengkap dengan isi dan lelakonnya. Tak lupa, Tuhan juga menghadirkan pertemuan dan perpisahan. Menciptakan keberhasilan lengkap dengan kegagalan. Menyandingkan suka dan duka. Mempersembahkan pagi dan malam. Penuh perbedaan namun tetap asyik saling melengkapi dan membuat semesta ini menjadi berwarna. Entah warna merah muda, jingga atau abu. Yang pasti kita semua (mungkin) sudah terbiasa dengan hal itu.

Terkadang, kita terlalu akrab dan bangga mengahadapi masalah dengan mengeluh. Padahal kita masih bisa menghadapi masalah dengan derajat yang lebih tinggi, menghadapinya dengan tangguh. Meski tak setangguh Gatot Kaca dan tak sekuat Bima. Setidaknya, kita masih bisa berusaha menjadi tangguh dan bersyukur.

Mungkin kita pernah merasa, hidup ini tak adil. Apa yang kita perjuangkan tak memberikan hasil yang sesuai. Jauh dari prediksi. Hingga kita lupa, keikhlasan dalam menjalani hidup. Bukankan untuk tetap hidup, kita harus selalu berusaha dan berjuang? 
Jadi, jika engkau memutuskan untuk berhenti dititik ini, menyerah disini, apakah engkau memutuskan untuk mengakhiri hidupmu?

Tenanglah, kesedihan yang kau rasa belum tentu kesedihan yang teramat sedih. Kegagalan yang kau dapat belum tentu akhir dari kesuksesan itu. Masih banyak, yang hidupnya lebih sulit dan kacau dari hidupmu. Apakah kau pernah terpikir, kehidupan lain diluar kehidupanmu?
Pernahkah kau memiliki niatan untuk mengunjungi mereka, berbagi sedikit kebahagiaan yang kau miliki dibalik kehidupanmu yang kau anggap paling menyedihkan?

Percayalah, Tuhan selalu ada bagi mereka yang berusaha, bagi mereka yang berjuang mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan. Tentu saja, Tuhan akan memberikan bonus lebih pada siapa saja yang mampu menghadirkan sedikit kebahagiaan diantara keterpurukan yang dimiliki oleh orang lain.

Berbahagialah!
Roda kehidupan takkan pernah berhenti berputar. Jika hari ini kau sedang terpuruk karena semua hal yang buruk tengah menimpamu. Mungkin esok, Tuhan memberikan kuasanya untuk menggantikan air mata dengan senyuman. Dengan sesuatu yang penuh kejutan dan mengejutkan. Hidupmu sangat berharga, tak sepantasnya kau mengeluh dan mengalah pada keadaan. Berbahagialah, karena kau telah di uji oleh-Nya yang akan memberikan hadiah yang pantas untuk kesabaran dan ketangguhan yang kau miliki.

         
                 Purwakarta, 25 Februari 2015
 
Dari yang selalu berusaha membahagiakan hidupmu

Senin, 23 Februari 2015

Tergantung Pilihanmu

Oke, langsung saja pada pokok permasalahan!
Engkau merasa takut mencintaiku? 
Mengapa kau bisa merasakan ketakutan yang tak beralasan?
Aku dengar, kau takut tersakiti jika mencintaiku. Benarkah itu, Tuan?
Konyol, tak bisa ku percaya. Seorang lelaki yang biasa meninggalkan jejak luka dihati para lawan jenisnya itu merasa ketakutan. 
Apakah kau, sangat mengenal dan mempercayai karma?

Jika boleh aku tahu, memangnya apa saja yang telah kau lakukan sehingga mereka; rekan sejawatku, mengeluarkan kesedihan, amarah hingga mengutukmu dalam do'a. 
Apa yang telah terjadi, Tuan?
Baiklah, akan ku jaga privasi tentang dirimu. Tenang, aku takkan memaksa engkau untuk menceritakannya padaku. Lagi pula, apa peduliku padamu? 
Tapi jika suatu saat kau berubah pikiran, dan ingin berbagi ketakutan mu padaku, silahkan!
Dengan senang hati aku akan mendengarkan kisah kelam mu itu.

Seberapa dalam kau mempercayai pribahasa "Siapa yang menanam, dia yang akan menuai" seberapa persen kau mempercayainya, Tuan?
Entahlah, aku tak yakin bahwa benih yang kau taburkan selama ini adalah benih kebaikan. Benih kebaikan yang menjelma dalam cintamu. Maaf, bukan maksudku untuk menghakimi engkau. Aku hanya curiga. Jangan-jangan, selama ini kau menuai karma karena tingkahmu yang kurang mengenakkan hati para perempuan itu. Aku merasa prihatin atas hal ini, sungguh!

Oh ya, apa benar kau sangat suka bermain dan sangat suka pada suatu permainan?
Jika iya, ayo kita bermain!
Aturan mainnya, sangat sederhana. Engkau cukup menunjukkan kesungguhan mu padaku. Kesungguhan untuk mendapatkan hati beserta cintaku. Dari berita yang beredar, katanya diriku ini adalah sosok perempuan yang selalu mengganggu pikiranmu selama ini. Apa benar seperti itu, Tuan?
Apa benar, kau menyukai aku? 
Ayo kita mulai permainan ini. Segera kita selesaikan permainan, aku sudah tak sabar untuk mengetahui akhir dari permainan ini.

Jika benar kau menyukai ku, aku sangat tersanjung sekali karena bisa disukai oleh seorang lelaki sepertimu. Tapi maaf, jangan berharap lebih. Meski aku mengakui semua kesempurnaan yang kau miliki, aku takkan bertindak gegabah seperti perempuan-perempuan yang kau campakkan itu. 
Tabu. Pantang bagiku, untuk memuji lawan jenisku secara terang-terangan. Apalagi sampai mengutarakan isi hatiku pada lelaki seperti engkau. Cih, bisa-bisa kau semakin besar kepala karena hal ini.

Baiklah Tuan, akan ku tenangkan rasa ketakutan mu yang tak beralasan itu. Aku akui, aku berlagak jinak-jinak merpati agar kau bisa tetap berusaha menerkam diriku. Sekaligus memberi pelajaran padamu, bahwa tak semua bunga yang kau inginkan bisa dengan mudah engkau petik. Aku memang sama, aku pun serupa dengan bunga-bunga itu. Tapi camkan hal ini. Aku berduri, hati-hati dengan duri yang ku miliki. 
Aku bisa saja kau miliki, tergantung usahamu untuk mendapatkan aku. Aku bisa saja takjub dan takluk pada sosokmu, tergantung caramu menakjubkan dan menaklukkan aku. 

Kini, ku serahkan semuanya padamu. Kau bebas memilih, mau kau apakan perasaanku ini. Tergantung caramu memainkan permainan yang ku berikan. Jika engkau sanggup dan berjanji untuk selalu menghadirkan tawa, kebahagiaan dan berbagi segala keluh kesah yang kau miliki padaku hingga akhir, aku pun akan menghargai dan membalas cintamu. Tapi, jika engkau hendak melakukan hal yang sama padaku. Membuatku kecewa hingga meninggalkan jejak luka seperti yang kau tinggalkan pada hati perempuan-perempuan itu, aku pun akan bertindak dan memberikan hal yang sama padamu.

***

Untuk lelaki yang gemar mempermainkan,
Semuanya tergantung padamu. Mana permainan yang akan kau pilih?

Sabtu, 21 Februari 2015

Tak Semudah Itu, Tuan!

Untuk kesekian kalinya, engkau memintaku untuk meninggalkanmu. Dengan dalih, engkau tak pantas untukku. Engkau tak pernah bosan untuk membuatku melemah, melemah hingga kekuatan untuk mempertahankan pun menghilang. Mempertahankan engkau yang tak sedikitpun mengerti perihal mempertahankan. Tak henti-hentinya engkau mengusir rasa yang ku miliki padamu. Selalu, dengan sengaja kau merajam dan mencabik-cabik hati ini hingga tak berdaya. 

Berkali-kali ku yakinkan engkau, bahwa aku pantas untukmu, begitu pun sebaliknya. Tetapi engkau selalu saja menyanggah semua keyakinanku. Engkau menunjukkan, betapa aku tak layak untuk dimiliki juga memiliki mu. 
Lantas, siapa yang lebih layak untuk semua ini, Tuan?
Tak bisakah sedikit saja, kau hargai perasaan yang selama ini ada?
Tak adakah ruang di hatimu, sekedar membiarkan ku untuk singgah di tempat yang menurutku teduh itu.
Di hatimu, hanya di hatimu. Ku biarkan diri ini tergelincir hingga jatuh tepat pada cintamu. Cintamu yang masih meragukan diriku, cintamu yang kau anggap tak pantas untukku. Benar begitu kan, Tuan?

Sebenarnya, apa yang kau cemaskan? Apa yang menjadi cemasmu selama ini?
Biar ku dekap kecemasanmu itu, Tuan. Perlahan, akan ku remukkan segala cemas yang selama ini menari-nari dan menguasai hatimu. Lalu, kan ku biarkan cemasmu melebur dan hilang sehingga tak dapat lagi kau temui kecemasan dalam hidupmu.
Tuan, tak usah heran mengenai sikapku ini. Aku memang perempuan pembuat onar. Aksi yang ku lakukan selalu membuat kepalamu merasa pening. 
Tapi tenanglah, Tuan ... Ku lakukan semua ini demi kebahagiaan mu (mungkin). Ku sanggup melakukannya Tuan, demi menghadirkan kebahagiaan disisimu.

Tuan, ingatlah ini. Beribu cara yang kau lakukan untuk membuatku menjauh, berjuta cara selalu ku persiapkan untuk selalu ada didekatmu. Aku terlahir sempurna. Tak mudah aku menyerah pada perkataan yang mendo'akan ketidakmungkinan di hidupku. Andai saja engkau tahu, caraku menembus semua ketidakmungkinan itu. Mungkin saja, engkau kan langsung takjub kepadaku. 
Tak mudah, Tuan ... Untuk menyadarkan seseorang yang buta untuk melihat dan menyentuh cinta yang selama ini ada namun tak terasa olehnya. Sepertimu, yang ke sana kemari mengejar incaranmu tanpa sadar sesuatu yang pantas untukmu sudah ada di pelupuk mata.

Ku biarkan engkau berlari dengan bebas mengejar cinta yang menurutmu pantas. Tapi, takkan ku biarkan engkau menghilang dari pantauan kedua mataku. Aku tahu, apa maumu juga maksudmu. Aku paham betul atas seisi di kepala dan hatimu. Tak butuh waktu lama untukku, untuk melihat dirimu terkapar di tempat lain dan merasakan sakitnya penolakan dari incaranmu itu. Hingga akhirnya, engkau pula yang mencari sosokku di sini. 

Sadarlah, Tuan ... Setidaknya, mengertilah bahwa tak mudah mendapatkan sesuatu yang kau inginkan, bahwa tak mudah mendapatkan seseorang yang kau cintai. Jika memang tak jua kau mengerti perihal itu, setidaknya mengertilah tentang aku. Tentang aku yang tak semudah itu membiarkan engkau keluar dari lingkaran hidupku. Tentang aku yang tak semudah itu, membalut hati yang sering kalut saat kau sengaja meninggalkan aku. Tentang aku, yang tak semudah itu berhenti mencintaimu. 
Percayalah, kelak kau kan tahu mengenai aku. 
Sadar akan kesempurnaan yang ku miliki, yang ku persembahkan semata-mata hanya untukmu.

Jumat, 20 Februari 2015

Tinggalkan Cintamu

Kau tahukan, sudah berapa lama aku berlapang dada dengan keadaan ini. Mungkin, kau juga tahu betul mengenai penantian ku selama ini. 
Engkau berkata, takkan ada yang sia-sia di semesta ini. Tapi aku mulai meragu dengan percintaan ini, dengan kisah kita, terutama denganmu yang hingga sekarang belum juga menanggalkan hubungan dengan kekasihmu itu. 
Kau tahukan, bahwa aku adalah seorang pencemburu yang egois. Lalu, mengapa hingga sekarang kau belum mencampakkan kekasihmu itu. Apakah kau tidak memperhatikan kesakitanku selama ini? 
Sungguh, aku rasa penantian ku selama ini 'kan menjadi sia-sia.

Atau mungkin kau telah terlanjur mencintainya, hingga tak bisa meninggalkannya.
Padahal, kau tak perlu cemas jika harus berpisah dengannya. Karena meski kau tak lagi mendapatkan cinta darinya, engkau masih bisa mendapatkan cinta yang (mungkin) lebih tulus dariku. 
Bukankah, engkau sendiri yang mengatakan ingin meninggalkan semua kenangan dengannya?
Jadi, kapan kau merasa siap untuk datang kepadaku?
Jangan mengulur-ngulur waktu. Ingat, aku juga perempuan, sama seperti perempuanmu itu yang sangat membutuhkan kepastian.
Katakan padaku, harus berapa lama lagi aku menanti?
Akan ku cari cara untuk membuatnya menjauh dan melepaskan dirimu dari kehidupannya. Lihat saja nanti!

Apakah engkau masih ingat, mengenai janji yang kau ucapkan kepadaku tempo hari?
Katamu, kau akan segera memutuskan hubungan dengannya. Katamu, kau akan segera mengubur semua kenangan saat bersamanya. Katamu, kau akan segera mendatangiku untuk membawaku ke singgasana pelaminan itu. 
Kau ingat tidak, tentang semua -katamu- yang ku iyakan, yang ku harapkan sekaligus ku aminkan. 
Demi Tuhan, aku selalu menantikan saat kedatanganmu tiba.
Aku cukup mengenalmu, bertahun-tahun kita bersama meski terbentang jarak. Tak satupun yang bisa kau sembunyikan dariku, begitu juga aku. 
Lalu, perihal apa yang membuatmu masih berpikir untuk tetap bersamanya hingga sekarang?
Bukankah, perempuanmu itu tak selalu memahamimu? 
Ayo, sudah saatnya untuk meninggalkan dia!

Entah, ini cinta yang benar atau salah. Kita menumbuhkan cinta lainnya di atas cinta yang telah ada. Sembunyi-sembunyi, kita memupuk dan merawat cinta ini. Mengharapkan dan membiarkan cinta yang lama itu layu, mati dan hilang terbawa angin. Sejahat itukah cinta?
Sehingga semua pantas dan layak untuk dilakukan demi merebut dan mempertahankan cinta yang menurut kita sangat layak kita miliki, sampai membuat cinta orang lain itu mati.
Aku tahu, tak seharusnya aku menantimu. Tak seharusnya aku mengharapkan kehancuran pada cinta yang dimiliki perempuanmu itu. Tapi kau kan tahu sendiri, tabiatku seperti apa. Tak mudah untukku melepaskan sesuatu yang ku inginkan, tak mudah bagiku untuk membiarkan seseorang pergi dari hidupku tanpa memenuhi janjinya. Seperti engkau yang berjanji untuk menjadikanku yang terakhir bagi hidupmu.

Aku, tak mau bertele-tele lagi. Aku sudah cukup tegar melihatmu dengannya. Aku sudah cukup berjuang untuk mempertahankan dirimu. Sudah cukup banyak yang kita korbankan. 
Kini, giliranmu untuk mewujudkannya dan menentukan hati. Untuk apa kau mengucap janji, jika hanya untuk di ingkari. Untuk apa aku menanti, jika hanya untuk di abaikan. 
Sekarang, ku tagih semua ucapanmu. Ucapan mengenai niatmu untuk meninggalkan cintamu demi aku. Demi aku, perempuan lain yang selama ini engkau idam-idamkan. Segera temui aku, ku pastikan kebahagiaan kekal berada disampingmu.

Kamis, 19 Februari 2015

Ingin Tapi Tak Bisa

Kriiing! Pos! Pos!

Dear Bosse,

Ngomong-ngomong, aku setuju dengan pendapat Bosse mengenai kota Bandung. Yaaap, Bandung memang salah satu kota yang paling mewakili kata cinta, penuh rindu jika mengingat kota ini. Dari mulai tempat-tempatnya, kuliner khasnya, suasananya yang sejuk sampai salah satu warga Bandung yang selalu membuatku rindu!! Eh maaf, keceplosan nih Bosse :')
Aku senang karena Gathering #30HariMenulisSuratCinta diadakan disana, Bosse. 
Kebetulan, jarak dari tempat tinggal ku (Purwakarta) tidak terlalu jauh dengan kota kembang itu. 

Tapi maaf, Bosse .. beribu-ribu maaf aku ucapkan. Karena tanggal 1 Maret 2015 nanti aku tak bisa menghadiri Gathering tersebut, aku harus pergi dan berkunjung ke kota Jakarta, ada sesuatu hal yang harus aku selesaikan disana. hehehe
Padahal, saat tahu mengenai Gathering #30HariMenulisSuratCinta mungkin aku salah satu pecinta yang paling kegirangan karena hal ini. Membayangkan betapa serunya bisa bertemu, berkenalan dan menghabiskan waktu bersama para pecinta, Kangpos dan tentu saja bersama Bosse. Pasti nanti, kita akan bersenang-senang disana.
Ah, aku penasaran dengan sosokmu, Bosse .... ehehe

Aku juga sempat berniat untuk berpartisipasi mengisi acara tersebut loh, Bosse ..
Kalau saja aku bisa hadir disana. Niatnya sih, aku ingin perform di Gathering nanti. Ber-StandUp Comedy di Roemah enak-enak, bolehkan Bosse?
Tapi apa daya, Tuhan berkehendak lain. Aku tak bisa hadir ke Gathering tersebut. Cukup sedih tapi apa boleh buat, mungkin jika tahun depan Gathering #30HariMenulisSuratCinta diadakan kembali (semoga) aku akan meluangkan waktu untuk datang menghadirinya. 

Oh iya, Gathering berikutnya masih di Bandung kan, Bosse?
Kalau iya, aku akan senang sekali dan pastinya aku akan menunggu saat itu tiba. Bertemu kalian semua yang penuh dengan ungkapan-ungkapan akan cinta.
Atau jika Bosse berkenan untuk mengadakan Gathering di kota Purwakarta juga boleh. Nanti akan ku kenalkan dengan makanan-makanan khas kota pewayangan ini; ada sate abah use, simping, ceker lapis dan makanan enak di sambel hejo.
Di jamin deh, Bosse bakal ketagihan dengan kulinernya dan ingin kembali ke Purwakarta. 
Aku tunggu kedatangannya ya :D

Oke deh, Bosse ... 
Tak banyak yang bisa aku sampaikan di surat ini. Terima kasih karena sudah mengadakan proyek menulis #30HariMenulisSuratCinta, kami; para pecinta merasa sangat terbantu sekali dengan adanya @poscinta ini. Terima kasih juga, untuk Kangpos @catatansiDoy yang rela menyumbangkan waktunya untuk mengantarkan surat-surat yang aku kirimkan. Semoga kebahagiaan selalu ada dimanapun kalian berada. Amin ...

Sampai jumpa di surat berikutnya Bosse ^^

Rabu, 18 Februari 2015

Yang Selalu Merindukan Malam

Malam memang tak pernah ingkar dengan sunyinya. Berhiaskan gelap dengan lampu temaram seadanya. Meski begitu, selalu saja ada yang membuat rindu. Entah karena ingatan yang saling beradu, atau memang suasana malam yang mengajaknya berkunjung dan diam sejenak di tempat segala ingatan berada.

***

Engkau memiliki keluarga, teman bahkan seseorang yang mencintaimu. Tapi mengapa engkau memilih untuk selalu mengajakku bicara, padahal engkau tahu ini sudah terlalu larut untuk mendengarkan ocehanmu itu. Dan maaf, meski berpuluh-puluh kali engkau mencoba berbincang denganku, aku takkan bisa membalas atau menjawab setiap ucapan yang kau tujukan padaku. 

Semalam, dua malam hingga beberapa malam setelah kejadian itu, engkau seolah bersahabat dengan ku. Seolah sudah berkerabat sangat lama. Iya, memang aku sudah tak asing lagi dengan sosokmu dan tentu saja engkau juga cukup lama mengenalku. Engkau sudah terbiasa dengan kehadiran ku selama ini, tapi mengapa baru kali ini engkau menganggapku ada. Saat kau bercerita tentang semua yang telah terjadi padamu, aku ingin sekali melontarkan kalimat seperti ini "Engkau siapa? Apakah kau mengenaliku?"

Bukan maksudku untuk tak mau tahu mengenai apa yang selalu kau utarakan padaku. Tapi, aku sudah lelah. Sudah malam, langit pun menggelap. Seharusnya kau bisa mengerti itu, tak sepantasnya perempuan muda seperti mu tidur larut dan bertemankan dinginnya malam. Sesekali kau bertutur kata padaku, sesekali kau teguk lagi air hitam itu, kau menyebutnya dengan kopi. Untungnya itu tak membuatmu mabuk, jika sampai engkau mabuk dan tak sadarkan diri, entah apa yang harus aku perbuat. Aku kalut.

Aku mencoba menelisik, apa yang membuatmu merindukan malam. Kesunyiannya kah?
Ah, ku rasa engkau bukan seseorang yang menyukai kesunyian. Bukankah engkau seseorang yang periang? Tapi mengapa engkau begitu risau akhir-akhir ini, apa karena engkau tak menyukai lelaki yang tak lama lagi akan menjadi lelakimu?
Bukankah, ia seseorang yang tampan?
Jika aku menjadi engkau, aku akan lekas mengiyakan dan pergi dengan lelaki itu. Akan ku bawa dia berkelana.

Tapi, engkau bergeming. Di suasana yang hening, engkau memutuskan keinginanmu sendiri. Engkau berkata, bahwa dia bukanlah seseorang yang selama ini engkau harapkan. Engkau berkata, bahwa dia takkan mampu memenuhi semua harapanmu. Engkau mengucapkan itu berkali-kali kepadaku, padahal aku kan bukan Ayah dan Ibumu. Bukan juga lelaki yang di jodohkan denganmu. Tak ada gunanya berkeluh kesah pada aku si dinding tua yang mulai rapuh. Sudahlah, ku mohon hentikan, Nona!

Perihal harapan yang selamanya menjadi harap dihidupmu, biarkanlah. Lupakanlah mengenai harapan-harapan yang tak bisa kau buat nyata karena keputusan orang tua mu. Lagi pula, seseorang; lelaki yang lain itu, lelaki yang kau kenal, lelaki yang kau inginkan, lelaki pertamamu itu, juga tak bisa mewujudkan semuanya. Jangankan untuk mewujudkan, untuk melahirkan kebahagiaan di hidupmu saja dia tak kuasa, bukan?

Kepada Nona, perempuan yang selalu merindukan malam. Bertemankan aku, si dinding tua yang bisu. Kini, aku tahu mengapa engkau selalu mengagungkan malammu. Engkau menyukai pemandangan bulan dengan bintang-bintang, mendengarkan orkestra malam dari sang pangeran kodok dan putri jangkrik. Dan saat malam, engkau mampu menciptakan kebahagiaanmu sendiri. Mengenang dan merindunya yang telah lalu, lagi dan lagi. 
Aku mohon, jika nanti engkau menikah dan pergi dari rumah orang tua mu ini, anggaplah dia dan segera berkenalanlah dengan dinding kamar di rumah mu yang baru. Ku harap kebahagiaan selalu hadir disetiap malam yang selalu engkau rindukan.


                                Tertanda,

Dinding tua kamarmu yang berwarna merah muda