Selalu ada celah untuk berbalik arah. Selalu ada
cara untuk kembali. Selalu ada jalan untuk pulang. Iya, selalu ada. Selalu ada
saja alasan untuk kembali mengecap cinta dan merengkuh rindu yang ku simpan
rapih untuk mu, di palung hati ini. Dikala hangatnya mentari, sejuknya embun,
teduhnya suasana senja, sepinya malam yang kulewati, aku masih saja bisa
meluangkan waktu ku yang tak seberapa ini hanya untuk memanggil namamu dalam
puja puji yang ku panjatkan padaNya. Iya, kamu masih menjadi topik utama disetiap
hari-hariku.
Sudah 1825 hari, aku terbuai dalam angan-angan
semu. Angan-angan yang mampu menerbangkan aku ke atas langit ketujuh dan dengan
seketika aku jatuh. Jatuh ke lapisan bumi paling dasar, gelap dan kelam. Aku
masih bisa mengingat mu, masih sangat mampu mengingat mu. Meski aku tak pernah
tahu, apakah disana kamu mengingatku? Apakah kamu ingat padaku? Mungkinkah kamu
mengingatku, walau seperti angin yang berhembus pelan dan berlalu begitu saja
dihadapan mu?! Pernah?!
Kurasa tidak! Mana mungkin seseorang sepertimu,
bisa peduli dengan perempuan seperti aku yang hanya berperan sebagai figuran
didalam kisah cintamu.
Aku masih ingat saat kamu datang kepadaku.
Seperti bocah lelaki yang lemah, yang amat sangat memerlukan tempat berlindung
dari kegelisahan hidup.
Saat itu hujan turun deras. Aku selalu merasa
cukup hangat diam di kamar apartement mungil ini, menikmati secangkir kopi
hangat sambil menyaksikan petir yang menyambar. Apakah negeri diatas awan sana
sedang bertengkar?
"Gita, gita !!" suara lelaki yang ku
dengar memanggilku sambil mengetuk pintu.
"Iya, tunggu sebentar" bergegas ku
rapikan rambut yang terurai ini dengan jari-jari tanganku. Ku bukakan pintu
untuk lelaki yang badannya basah kuyup karena hujan.
"Mengapa tidak mengabari ku terlebih
dahulu?" tanyaku
"Apa aku harus memberitahu perihal
kedatanganku padamu? Bukankah sudah biasa, aku mengunjungimu seperti ini?
Seperti tidak kenal saja." Garin menjawab pertanyaanku sambil tersenyum
kecil.
"Ini, ku pinjamkan T-shirt untukmu!
Keringkan dulu badanmu, ganti pakaian mu, aku takut kamu masuk angin mengenakan
pakaian basah seperti itu."
Garin hanya membelai rambutku, bergegas ia
mengganti pakaian. Sementara aku, langsung pergi ke dapur. Sekedar menyediakan
dua cangkir kopi yang tak terlalu manis dan setoples crackers untuk melengkapi
sore yang diderai hujan ini.
Garin
Mahardika Albian, lelaki bertubuh proporsional dengan perawakan putih bersih,
memiliki kumis tipis dan selalu menyambutku dengan aroma parfume Black Code
dari Giorgio Armani. Aroma maskulin oriental yang segar, namun hangat ini
terdiri dari campuran aroma lemon segar dan bergamot, bunga zaitun, kayu
Guaiac, dan biji tonka yang selalu membuatku asyik berlama-lama berada
didekatnya. Iya setidaknya hingga saat ini, aku masih nyaman berada didekatnya.
Ia laksana candu bagi hidupku, ia laksana madu pemanis jalan kehidupanku, Ia
laksana semua hal yang ku butuhkan untuk bertahan hidup.
"Gita, Gita .." Ia
memanggilku sangat lembut, suara yang selalu aku rindukan
"Iya, sebentar .. Aku
sedang membuatkan kopi untukmu." Segera aku aduk kopi, dan bergegas datang
mendekatinya. "Ini silahkan diminum!" menyodorkan secangkir kopi
untuknya.
Garin langsung menyeruput
kopi buatanku dan berkata "Sama seperti kopi yang selalu kau buatkan
untukku. Aroma dan rasanya pekat, tidak begitu manis." kembali ia
memberikan senyuman.
Aku menghela napas
"Kenapa? bukankah kamu biasa dengan rasa kopi yang seperti itu? Atau apa
kamu sudah tidak menyukai kopi buatan ku lagi?"
"Tidak, tidak! bukan
itu maksudku. Aku selalu menyukai setiap apapun yang kamu lakukan dan perbuat.
Begitupun dengan kopi ini, aku tak perlu banyak gula yang manis dalam cangkir
ini, cukup dengan melihat senyummu saja, itu sudah terasa manis
bagiku!"
ah, shit !!! Garin mulai
mengeluarkan rayuan murahannya untuk membuatku kepayang setengah mati. Inilah
aku, perempuan yang sangat mudah bahagia meski hanya dengan rayuan yang menurut
orang lain biasa saja. Tapi jika itu yang keluar dari mulut seseorang yang amat
sangat kamu dambakan, rasanya pasti luar biasa bukan?! Iya, tak mungkin biasa.
"Sudah hentikan! Aku tak akan termakan rayuan murahan seperti itu. Ada perlu apa kamu mengunjungiku?"
"Hahaha, kamu masih
saja ketus menghadapiku! Gita, gita ... kamu selalu menjadi perempuan yang ada
didalam otakku!" Untuk kesekian kalinya ia mengelus-mengelus rambutku.
Jika sudah seperti itu, aku tak bisa berkutik. Aku hanyut kedalam palung yang
dalam hingga dasar, sulit untuk beranjak dari pelukannya. Merebahkan kepala di
dada bidangnya, mendengarkan setiap nafas yang ia eluhkan, menghitung setiap
detak jantungnya, itulah yang selalu aku inginkan dan rindukan.
Disaat seperti ini, kami
selalu menciptakan atmosfer hangat didalam ruangan apartement ku yang mungil
ini. sesekali kami hias dengan gelak tawa, bahkan tak lupa kami berikan
kebisuan untuk ruangan ini. Dimana hanya ada impian dua orang keturunan adam
dan hawa yang bermimpi dapat saling memiliki satu sama lain, tanpa harus
memikirkan norma dan perbedaan yang ada.
"Mmmm, Gita..."
Deg ! jantungku berhenti
sejenak, lidahku pun kelu, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari
mulutku. Tatapannya tajam, aku sengaja membiarkan bahasa tubuhnya yang
berbicara. Ia mengecup keningku, hingga melumat lembut bibirku.
"Maaf, tak seharusnya
aku melakukan itu padamu." Seketika Garin sadar atas perlakuannya
terhadapku.
"Kamu kenapa,
garin?"
"Tak seharusnya aku
seperni ini, maafkan aku Gita!" Ucapnya lagi, penuh penyesalan
"Apa kamu menyesal
telah, memanjakanku saat ini?" Tanyaku
"Bukan seperti itu,
bukan itu maksudku. Mengapa diantara kita selalu penuh dengan kesalahpahaman?
Disaat aku mengenalmu, dekat denganmu, nyaman denganmu, bahkan mulai
mencintaimu selalu saja salah dimata dunia. Apa aku tak pantas mendapatkan hal
yang aku inginkan, hal yang selalu aku impikan dan pikirikan?"
Pertanyaannya semakin
membuatku geram "Cukup, hentikan Garin! Hentikan menyalahkan dan membenci
dirimu sendiri. Bukan kamu yang salah, tapi aku!"
"Kamu, mengapa kamu
berkata seperti itu?" Garin penasaran dengan ucapanku
"Ya, aku yang salah.
Aku yang salah, yang selalu membiarkanmu mencari dan mengunjungiku. Aku yang
keliru, yang tak bisa meredam keinginan untuk memilikimu seutuhnya. Aku yang
egois, yang selalu membiarkan rasa ini tumbuh setiap harinya. Padahal kamu tak
selalu ada untukku, tak selalu menemani setiap tangisku, tak selalu meredakan
setiap rinduku. Aku yang bodoh, yang masih mengharapkan kamu yang sudah resmi
menjadi suami perempuan lain." Entah apa yang ada didalam pikiranku, yang
kurasa saat itu hanya ketenangan. Tenang telah meluapkan keluh yang telah
bersarang lama dihati.
"Maafkan aku, Gita.
Maaf, aku tak bisa meyakinkan orang tua ku untuk memilihmu sebagai pendamping
hidupku. Tapi, percayalah Gita. Hingga saat ini kamu satu-satunya perempuan yang
selalu ada dalam pikiranku !"
"Bohong, kamu hanya
menjadikanku pelarian disaat kau penat dengan kehidupanmu bersama perempuan
itu. Aku hanya ada didalam pikiranmu, tak pernah ada didalam hatimu! Kamu
bebas, mengelus-elus rambutku, menyentuhku, bahkan melumat bibirku. Kamu pikir
aku apa ?!"
"Itu semua ku lakukan
untuk menunjukkan rasaku terhadapmu, seharusnya kamu mengerti itu!"
Pertama kalinya, dia membentakku. Matanya berkaca-kaca, mungkin didalam dadanya
sedang terjadi sebuah perdebatan yang hebat antara keinginan dan kenyataan yang
terjadi disini.
Aku tahu Garin. Didalam
hatimu mungkin kau menginginkan aku. Tapi semua orang juga tahu, kalau aku dan
kamu takkan pernah bisa bersatu. Takkan pernah ada kata "kita"
diantara kita. Dan mungkin kamu juga tahu, aku selalu menginginkan mu lebih
dari kamu menginginkan ku. Saat kamu menciumku, aku hanya terdiam merasakan
kesungguhan cinta dari sentuhan bibirmu. Aku tak ingin bersembunyi dibalik
kemunafikkan, sejujurnya aku selalu menginginkan itu. Maka dari itu aku selalu
membiarkanmu untuk menyentuh dan memanjakanku.
Ini gila, selalu dan selalu seperti itu. Disaat
dia rapuh dengan semua keadaan, dia selalu mencariku dan berteduh dibawah atap
cintaku. Sebagai perempuan yang selalu mencintainya dalam keadaan apapun, aku
bisa apa?
haaah ... aku tak bisa menolaknya disaat dia
menceritakan kehidupannya yang rumit, yang harus tinggal seatap bersama
perempuan yang sama sekali tidak dia cintai selama hampir 3 tahun. Betapa
sulitnya dia disaat menuruti keinginan orang tuanya yang terkadang selalu
berbeda dengan keinginannya. Betapa sulitnya dia menekan ego, rasa rindu yang
semakin hari semakin meletup-letup hingga memuncak didalam dadanya, disaat dia
harus menahan rindu padaku.
Tak seharusnya dia mengunjungiku saat sore itu,
tak seharusnya juga aku selalu membukakan pintu apartment dan hatiku disaat dia
mengetuk. Kami terlalu lemah, kami terlalu larut dalam keadaan yang penuh
ketidakpastian. Tanpa hubungan yang jelas, tanpa status yang jelas, tanpa restu
yang jelas aku selalu bertahan dan mempertahankan puing-puing yang ada meski
berserakan.
Semenjak perdebatan hebat disore itu, Garin pamit
pergi meninggalkanku. Dia tak mau lagi menyakitiku dengan caranya mencintaiku.
Dengan terpaksa, aku mengiyakan keputusannya untuk meninggalkanku. Sejak saat
itu juga, aku belajar untuk merelakan apa yang sulit untuk direlakan,
mengikhlaskan apa yang takkan mungkin di ikhlaskan. Garin pergi.
Aku sadar, tak semua orang bisa menerima masa
laluku. Sebagai seorang janda yang pernah gagal menjalani mahligai rumah
tangga, siapa yang bisa mencintaiku dengan tulus? hanya Garin!
Mungkin apa yang dikatakan Garin sore itu adalah
kejujuran, hanya Garin yang mau dekat dan tahu semua tentangku hingga jatuh
cinta padaku. Tapi tidak dengan orang tuanya, yang takkan pernah memberi restu
padaku untuk menemani hidup Garin. Belum lagi dengan keyakinan kami yang
berbeda. Garin seorang muslim, sedangkan aku cristiani, amat sulit bukan untuk
menyatukan kami?!
Seandainya dia bisa lebih berjuang untuk
mempertahankan ku. Seandainya aku bisa lebih berjuang untuk menahan keegoisan
ku. Mungkin saat ini, aku dan dia sedang duduk bedua menikmati kopi hangat
sambil melihat buah hati kami yang sedang tertidur pulas. Hahaha, semua perihal
kedatangan dan kepergiannya takkan pernah aku lupakan. Untuk Garin, jika kamu
ingin kembali, ku harap kembalilah pada hati yang lemah ini. Yang masih
mengharapkan mu untuk kembali.